The Beginning of Huta Siallagan
Menurut penuturan para orangtua, Huta atau
kampung adalah sebuah kelompok rumah yang berdiri di atas tanah satu kawasan yang dihuni
oleh beberapa keluarga yang terikat dalam satu kerabat. Dalam masyarakat Batak, dimana
marga merupakan sebuah identitas yang akan menjelaskan asal usul kekerabatannya, maka
Huta atau kampung juga dibangun sebagai identitas tempat tinggal yang selanjutnya huta
akan dinamai sebagai huta marga.
Demikian juga halnya marga Siallagan (turunan Raja
Naiambaton garis keturunan dari Raja Isumbaon anak ke dua si Raja Batak) membangun
sebuah huta/perkampungan yang dinamakan Huta Siallagan yang dibangun oleh keluarga marga
Siallagan yang dikuasai oleh seorang pemimpin yaitu Raja Huta, dalam hal ini Raja
Siallagan.
Huta dalam bahasa Batak artinya kampung sedangkan Siallagan diambil dari nama Raja
Siallagan. Area kampung ini dibangun oleh keluarga Batak bermarga Siallagan, lalu
dipimpin oleh Raja Siallagan.
Memasuki Huta Siallagan kita akan disambut dengan deretan rumah bolon, atau rumah adat
Batak. Ada sekitar 8 unit rumah bolon berumur ratusan tahun yang memiliki fungsi yang
berbeda. Ada yang digunakan sebagai rumah raja dan keluarga, ada juga sebagai tempat
pemasungan.
Sementara jika diperhatikan, bagian depan rumah terdapat beberapa ornamen khas, yaitu
jaga dompak (topeng dengan ekspresi menakutkan), singa-singa (patung kepala singa),
patung cecak, dan lambang payudara.
Keberadaan ornamen tersebut bukan hanya untuk memperindah rumah, tetapi memiliki makna
tersendiri. Seperti yang dijelaskan oleh Jansen Sitinjak salah seorang pemandu wisata di
Huta Siallagan. Seperti Jaga dompak dan singa-singa berfungsi untuk menangkal roh jahat. Sedangkan cecak
yang disebut boraspati merupakan hewan yang bisa hidup di mana-mana, baik itu di rumah
mewah dan di rumah sederhana. Sementara Lambang payudara melambangkan simbol kekayaan
dan orang dermawan yang harus bisa membantu orang lain.
"Lambang Payudara bisa juga diartikan sejauh mana pun orang Batak merantau, jangan lupa
orangtua dan jangan lupakan kampung halaman, intiya jangan lupa akan kampung halaman
bisa diartika seperti itu" ujar Jansen.
Yang membuat Huta Siallagan spesial ialah kehadiran batu besar yang kemudian dibentuk
menjadi kursi dan meja, yang dikenal Batu Parsidangan. Sebuah batu yang menjadi saksi
bisu persidangan untuk orang yang berbuat kejahatan. Situs kuno ini terdiri dari susunan
batu-batu yang terdiri dari sembilan kursi yang terbuat dari batu, ada tempat duduk
untuk raja, dukun, dan untuk orang yang melakukan kejahatan.
Tindak kejahatan tersebut bisa berupa mencuri, membunuh, memperkosa, dan menjadi
mata-mata musuh. Hukumannya pun tidak main-main. Jika kejahatannya kecil, maka akan
diberikan sangsi berupa hukuman pasung. Namun jika kejahatannya tergolong kejahatan
berat maka pelaku akan dijatuhi hukuman pancung alias potong kepala.
“Tanggal eksekusi pun akan ditentukan dari hari paling lemah si penjahat atau hari
baiknya kapan.
Pasalnya, rata-rata orang yang berani melakukan kejahatan diyakini punya
ilmu hitam. Disini dikenal namanya Manitiari atau primbon Suku Batak,” terang Jansen.
Setelah tiba hari pemancungan pelaku kejahatan akan ditempatkan di sebuah meja batu
dengan mata tertutup kain ulos. Tidak sampai disitu Jansen menuturkan Hukum pancung
dibuat sedemikian dramatis. Pertama-tama penjahat akan diberi makan yang berisi ramuan
dukun untuk melemahkan ilmu hitam.
Kemudian pelanggar akan dipukul menggunakan tongkat tunggal panaluan, yaitu tongkat
magis dari kayu berukir gambar kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa
rambut panjang.
Sementara saat dieksekusi, pakaian penjahat terlebih dahulu akan dilepaskan untuk
memastikan tidak ada jimat yang masih tersisa. Setelah itu, seluruh bagian tubuh akan
disayat-sayat. Jika sudah terluka dan berdarah, bisa dipastikan ilmu hitam yang biasanya
membuat orang kebal, telah hilang.
Tak sampai di situ, jika tubuh telah mengeluarkan darah, akan disiram dengan air asam
sampai si penjahat semakin lemah. Setelah itu, baru hukum pancung dilakukan.
Yang tambah membuat menyeramkan adalah setelah proses eksekusi selesai konon jantung dan
hati penjahat tersebut biasanya akan dimakan agar menambah kekuatan sang raja. Sementara
kepala yang sudah terpisah dari badan akan diletakkan di meja berbentuk bulat, sementara
badannya akan diletak di meja berbentuk persegi.
Kemudian, Janse menjelaskan bahwa badan pelaku akan dibuang ke Danau Toba selama tujuh
hari tujuh malam. Selama itu pula para penduduk dilarang melakukan aktivitas di dalam
Danau. Sedangkan kepalanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan, sebagai
pemberi peringatan kepada raja lain atau rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang
sama. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan dibalik kampung, dan selanjutnya
warga akan dilarang beraktifitas di hutan selama 3 hari.
Menurut Janse seluruh kisah penghukuman “sadis” tersebut akhirnya berakhir pada abad
ke-19, saat agama Kristen mulai masuk dan diperkenalkan oleh misionaris asal Jerman,
yaitu Ludwig Ingwer Nommensen ke kawasan Danau Toba.
Kini, hukum pancung dan kisah kanibal tersebut tentu sudah tak berlaku. Saat ini Huta
Siallagan sudah menjelma sebagai desa wisata. Seperti pada bagian paling belakang Huta
Siallagan kini terdapat beberapa kios suvenir yang menjual berbagai benda pernak-pernik
yang cocok dijadikan sebagai oleh-oleh seperti baju, kain ulos, gantungan kunci, dan
berbagai benda-benda lainnya.