Batu Persidangan

...
Rumah adat

   Saat Anda memasuki Huta Siallagan, tampak tidak banyak perbedaan dengan kampung lain pada umumnya di Tanah Batak, yaitu terdiri atas deretan rumah bolon dan sopo. Yang istimewa di sini adalah adanya deretan batu-batu berbentuk kursi tersusun melingkari meja batu. Rangkaian batu tersebut dinamakan Batu Parsidangan dan letaknya persis di tengah perkampungan di bawah pohon hariara yang akarnya melilit ke mana-mana.

   Pohon suci masyarakat Batak tersebut memang biasanya ditanam di perkampungan suku Batak. Batu persidangan tersebut ada di 2 lokasi dimana yang pertama berfungsi sebagai tempat rapat dan yang kedua untu eksekusi. Batu sidang pertama tertata rapi melingkar dibawah pohon dan berfungsi sebagai tempat rapat. Rangkaian batu kursinya meliputi kursi untuk raja dan permaisuri, kursi para tetua adat, kursi raja untuk huta tetangga dan undangan serta kursi untuk datu (pemilik ilmu kebathinan).

   Rangkaian batu kedua tidak jauh berbeda dengan yang pertama hanya saja dilengkapi sebuah batu besar memanjang untuk membaringkan musuh atau terdakwa lalu kepalanya akan dipenggal di batu cekung tersebut.Dinamakan Batu persidangan karena memang fungsinya untuk mengadili penjahat (Kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosan, dan lainnya) atau juga untuk musuh politik dari sang raja. Raja Siallgan akan menggunakan kalender Batak untuk mencari hari baik menggelar sidang bersama para tetua adat. Para tetua adat akan memberikan usul jenis hukuman yang diberikan sesuai derajat kesalahannya. Raja Siallagan kemudian akan menetapkannya apakah berupa hukuman denda, hukuman pasung, atau hukuman pancung. Sebelum diadili terdakwa dipasung terlebih dahulu. Apabila bersalah maka terdakwa akan dibawa ke belakang kampung untuk dieksekusi di rangkaian batu sidang kedua. Tubuhnya akan dibedah kemudian dipancung.
   Menurut penuturan masyarakat setempat, dahulu tubuh terdakwa akan disayat hingga darah keluar bila perlu ditetesi tetesan jeruk nipis sebelum dipenggal apabila si terdakwa memiliki ilmu kebal. Ada cerita bahwa potongan tubuh terdakwa itu akan membenci terdakwa tersebut maka akna memakan jantungnya. Bagian kepala terdakwa tersebut akan dibungkus dan dikubur di tempat yang jauh dari Huta Siallgan. Darahnya akan ditampung dengan cawan untuk dijadikan minuman pencuci mulut serta potongan tubuh dan tulangnya dibuang ke Danau Toba. Sang Raja biasanya akan memerintahkan agar masyarakat tidak menyentuh air danau selama satu hingga dua minggu karena air danau dianggap masih berisi roh jahat. Dimungkinkan dari kisah inilah yang kemudian sempat menjadi sebuah stereotipe bahwa masyarakat Batak melakukan praktek kanibalisme.
   Ritual ini perlahan hilang setelah agama Kristen tersebar di Wilayah Samosir oleh seorang Pendeta asal Jerman bernama Dr. Ingwer Ludwig Nommensen pad pertengahan abad ke-19. Raja Siallgan yang sebelumnya masih menganut agama asli Batak (Parmalim) kemudian memeluk Kristen dan tidak melanjutkan ritual kanibalisme itu lagi. Sekarang Huta Siallgan hanya berfungsi sebagai desa wisata saja untuk mengenang sejarah dan budaya salah satu suku di Tanah Batak. Pemandu wisata ke tempat ini pastinya aka menceritakan hal ini lebih terperinci dan dimaksudkan sebagai pelajaran dari bentuk tradisi di zaman dahulu dan tidak ada maksud lainnya.