Penampilan Patung Sigale-gale
Sigalegale (surat Batak: ᯘᯪᯎᯞᯩᯎᯞᯩ) adalah patung
kayu yang dahulu digunakan dalam salah satu bentuk ritual penguburan mayat masyarakat Batak di
Samosir, Sumatra Utara. Nama "si gale gale" berasal dari bahasa Batak Toba, yaitu "gale"
yang berarti "lemah, lesu, lunglai".
Sigalegale digerakkan seolah sedang menari (manortor) oleh kelompok pemain yang
mengendalikannya dari belakang dengan menggunakan tali-tali tersembunyi di setiap bagian
tubuh patung. Tali-tali tersebut dihubungkan kepada podium tempat Sigalegale berdiri.
Konsep permainan ini mirip dengan boneka marionette. Masyarakat Batak meyakini bahwa
jumlah tali yang menggerakkan Sigalegale sama dengan jumlah urat yang ada di tangan
manusia.
Dalam masyarakat Batak di Samosir, sosok tokoh yang digambarkan oleh patung Sigalegale
adalah Raja Manggale. Dahulu, Sigalegale kerap dimainkan pada ritual kematian orang yang
meninggal tanpa mempunyai anak, maupun orang yang meninggal setelah semua anaknya
tiada. Ritual ini diadakan, terutama, apabila orang yang meninggal itu mempunyai
kedudukan tinggi dalam masyarakat, seperti raja-raja atau tokoh masyarakat. Dahulu,
pada masyarakat Batak Toba, seorang tokoh terpandang yang meninggal dunia dalam keadaan
tidak mempunyai keturunan dipandang merugi. Oleh karena itu, Sigalegale dapat dibuat
untuk orang tersebut. Kekayaan yang ditinggalkannya akan digunakan untuk mengadakan
ritual Sigalegale bagi orang yang meninggal tersebut. Orang lain tidak akan berani
mengambil harta benda milik orang tersebut, karena takut tertular atau meninggal seperti
pemiliknya.
Sigalegale merupakan patung kayu yang dibuat untuk membahagiakan Raja
Rahat, salah seorang penguasa di Pulau Samosir.
Dikisahkan, Raja Rahat memimpin negerinya dengan bijaksana. Sayangnya, istri Raja Rahat
sudah lama meninggal dunia. Raja hanya punya seorang anak lelaki, bernama Manggale.
Manggale sangat dihormati dan disegani seluruh rakyat di negeri itu karena
ketangkasannya berperang. Ia menjunjung tinggi kebenaran. Sama seperti sang Raja,
ayahnya, Manggale pun sangat mencintai rakyatnya.
Ketenteraman di negeri itu terusik ketika suatu hari prajurit membawa berita bahwa di
hutan perbatasan berkumpul prajurit negeri tetangga. Prajurit negeri tetangga hendak
menyerang, menjarah harta kekayaan yang ada di negeri itu. Tentu saja Raja tidak tinggal
diam mendengar kabar itu. Raja mengumpulkan semua penasihat, juga Manggale selaku
panglima perang. Setelah semua dipersiapkan, maka berangkatlah Manggale bersama prajurit
terbaiknya. Selama Manggale dan prajurit pergi berperang, hati Raja tidak tenang. Ia
takut sesuatu yang buruk menimpa anak kesayangannya. Sampai kemudian, sebagian prajurit pulang. Tidak
ada Manggale di antara mereka. Manggale tewas di medan pertempuran. Raja sangat sedih.
Anak kebanggaannya, pewaris kerajaan, telah meninggal dunia. Seluruh rakyat juga sedih
dan merasa kehilangan.
Akhirnya, Raja jatuh sakit. Para penasihat Raja sudah memanggil banyak datu, tetapi
tidak ada yang mampu menyembuhkan Raja. Seorang datu memberi saran pada penasihat
kerajaan untuk membuat patung kayu yang wajahnya sangat mirip dengan wajah Manggale.
Penasihat kerajaan mengikuti saran itu. Dipanggilah pemahat terbaik di kerajaan untuk
mengerjakan patung itu. Pembuatan patung dilakukan jauh di dalam hutan, karena Manggale
tewas di dalam hutan. Jadi, datu meyakini roh Manggale masih berada di dalam hutan itu.
Sang pemahat menggunakan kayu pohon nangka sebagai bahan karena kayu nangka sangat
keras.
Wajah patung itu sangat mirip dengan wajah Manggale. Kemudian, datu menggelar ritual
dengan meniup sordam dan memainkan gondang sabangunan untuk memanggil roh Manggale. Roh
Manggale dimasukkan ke dalam patung yang mirip wajahnya itu. Patung itu diangkut menuju
istana dengan iringan sordam dan gondang.
Karena patung itu sangat mirip dengan putra kesayangannya yang telah meninggal,
kerinduan sang raja pada Manggale sedikit demi sedikit terobati. Apalagi patung itu bisa
menari sendiri karena datu sudah memasukkan roh Manggale ke dalamnya. Setiap Raja rindu
dengan putranya, ia akan manortor (melakukan tortor) bersama patung itu. Seluruh rakyat
ikut manortor setiap Raja melakukannya. Kemudian, Raja memberi patung ini nama
Sigalegale, yang artinya, orang yang lembah lembut,[7] atau orang yang lemah lunglai.[1]
Pemahat yang berhasil membuat patung yang mirip wajah Manggale, meninggal dunia tidak
lama setelah ia menyelesaikan patung itu. Sampai sekarang, ada kepercayaan di masyarakat
Batak bahwa pembuat patung Sigalegale menyerahkan jiwanya pada patung buatannya supaya
patung bisa bergerak seperti hidup.[1] Itulah sebabnya, tidak banyak yang bersedia
membuat patung Sigalegale. Kalaupun ada, sebuah patung akan dikerjakan beberapa orang.
Ada yang memahat bagian kepala, bagian badan atau bagian kaki.