Pohon Hariara
Jika kita berkunjung ke Huta Batak, maka kita akan dapat
menemukan pohon besar yang disebut Hariara. Pohon ini memang selalu akrab dengan Huta
Batak bahkan dengan Tanah Batak secara keseluruhannya. Namun, apa sebenarnya yang
menjadi alasan hingga pohon Hariara ini menjadi penghuni wajib dalam Huta Batak. Nah,
berikut sejumlah informasi dari beberapa sumber tentang makna pohon
Hariara dalam huta-huta Batak.
Pohon Hariara ini merupakan pohon yang menjadi ciri khas budaya Batak yang diturunkan
dari beberapa generasi awal, tepatnya ketika pada saat daerah di sekitar Danau Toba
belum dimasuki oleh ajaran-ajaran agama. Maka untuk menjadi panutan hidup, masyarakat
Batak mempercayai tentang keberadaan pohon ini sebagai penentu kehidupan dan pengambilan
keputusan.
Pohon Hariara ini dulunya digunakan oleh beberapa tetua adat dalam satu desa untuk
mengambil keputusan ketika akan membangun sebuah pemukiman atau huta. Bagaimana caranya
? Pertama kali, mereka akan menanam bibit pohon Hariara di suatu tempat yang akan mereka
bangun sebagai pemukiman atau huta, kemudian mereka akan memantau perkembangan bibit
pohon tersebut dalam waktu 7 hari.Setelah 7 hari bibit pohon tersebut ditanam dan tumbuh dengan subur, maka masyarakat pun
meyakini bahwa tanah di tempat tersebut layak menjadi tempat pemukiman dan diyakini
tempat tersebut akan membawa berkah bagi masyarakat yang bermukim di sekitarnya.
Begitu juga sebaliknya, apabila bibit pohon tersebut tidak tumbuh dengan subur atau bahkan layu
maka tanah tersebut tidak layak dijadikan tempat pemukiman. Seperti ditilik dari namanya, Hari = hari dan Ara = tujuh, maka pohon ini sering disebut
sebagai pohon hari ketujuh. Apabila Pohon Hariara ini dapat tumbuh hingga hari ketujuh,
artinya tanah di kawasan ini cukup baik untuk dijadikan Huta dan perkembangan masyarakat
ke depannya. Tanah yang dapat membuat Pohon Hariara hidup setelah hari ketujuh dipercaya
bebas tulah, bebas petaka, dan dipercaya akan membawa kemakmuran pada masyarakat Batak
yang tinggal di dalam Huta yang ditumbuhi Pohon Hariara tersebut.
Selain itu, pohon Hariara ini diyakini oleh masyarakat sebagai pelindung suatu desa dari
segala marabahaya. Bahkan hingga kini pun pohon hariara ini juga masih digunakan oleh
sebagian masyarakat Batak sebagai tempat melaksanakan suatu perjanjian atau sebagai
simbolisasi marga.
Pohon ini dinamakan hariara yang mempunyai makna sebagai kehidupan yang sejahtera. Hal
tersebut dimaknai dari beberapa filosofi budaya masyarakat Batak dalam bagian yang
terdapat di pohon hariara ini. Seperti pada bagian daun yang mempunyai makna
perlindungan dari segala marabahaya, bagian batang yang mempunyai makna pembawa rezeki
dan keberkahan, dan kemudian bagian akar yang mempunyai makna persatuan antara manusia
dengan manusia serta keselarasan dengan alam di sekitarnya. Sehingga filosofi yang
terdapat di pohon ini pun kini menjadi nasihat bagi masyarakat Batak agar dapat hidup
seperti halnya pohon hariara yang dapat berguna bagi sesama.
Hariara juga ditanam sebagai tanda pembatas antara satu huta (kampung) dengan huta yang
lain, bahkan simbol pengawal desa, sebagai tempat mamele (berdoa pada penghuni alam
gaib) atau sebagai tanda kepemilikan satu wilayah atau sebagai lambang bagi satu
klan/marga. Atau bahkan sebagai saksi dalam perjanjian antar komunitas, seperti
perjanjian antar marga (padan). Dan cukup terlihat juga peranan Hariara (yang sering
disebut juga sebagai Beringin) ini dalam transaksi perdagangan tradisional dalam kisah
Ini Dia Kisah Kota Tarutung si Kota Durian, mungkin juga sebagai saksi dalam perjanjian
dagang tersebut.
Begitu pentingnya posisi Hariara dalam kehidupan masyarakat Batak sehingga dulu (bahkan
kini tidak jarang) dia menjadi tempat/benda yang disakralkan, seperti kisah Hariara/
Jabijabi tempat Marappot Bius.
Pohon ini juga memiliki makna filosofis bagi orang Batak. Hariara sering disebut sebagai
pohon hidupnya suku Batak karena pohon ini dapat tumbuh tinggi besar, kokoh dan tahan
terhadap berbagai cuaca dengan masa hidup yang lama. Daunnya yang lebat membuat daerah
sekitarnya menjadi sejuk sehingga sering orang-orang berteduh dibawah pohon sambil
membicarakan banyak hal. Berbagai jenis makhluk hidup juga hidup dan mencari makan
dipohon ini.
Pohon ini menjadi semacam ”kerajaan” tanpa raja yang penuh dengan kehidupan tanpa
kekacauan. Sehingga orangtua Batak sangat mengharapkan anak-anaknya selalu mengingat
hariara ”Tumbuh tinggi, besar dan kuat, membenamkan akar jauh ke perut bumi, menjadi
sumber hidup dan saluran berkat bagi sesama dan makhluk hidup lainnya”